KONVERS,
AKROMINISASI DAN PENYERAPAN
Ø Proses konversi
Menurut Chaer (2008:
235) “konversi juga disebut sebagai derivasi zero, transmutasi atau transposisi
adalah proses pembentukan kata dari sebuah dasar berkategori tertentu menjadi
berkategori lain tanpa mengubah bentuk dasarnya itu”. Misalnya:
1. Petani
membawa cangkul ke sawah.
Keterangan:
kalimat diatas merupakan kalimat bermodus deklaratif dan kata cangkul dalam
kalimat itu berkategori nomina.
2. Cangkul
dulu tanah itu.
Keterangan: sedang kalimat kedua diatas bermodus
imperatif, kata cangkul dalam kalimat tersebut berkategori verba.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa pembentukan sebuah kata menjadi kategori lain tidak
mengubah bentuk dasarnya. Penyebabnya adalah kata cangkul dan sejumlah kata
lainnya di samping memiliki komponen makna (+bendaan) juga memiliki komponen (+
alat) dan (+ tindakan). Komponen makna (+ tindakan) inilah yang menyebabkan
kata cangkul dalam kalimat imperatif termasuk dalam kategori verba.
Kosakata
nomina yang memiliki komponen makna (+tindakan) seperti dibawah ini:
-
Kunci
-
Tikar
-
Pancing
-
Amplas
-
Kupas
Ø Akronimisasi
Menurut
Chaer (2008: 236) “Akronimisasi adalah proses pembentukan sebuah kata dengan
cara menyingkat sebuah konsep yang direalisasikan dalam sebuah konstruksi lebih
dari sebuah kata.” Proses akronimisasi menghasilkan kata yang disebut akronim.
Akronim disebut juga sebagai “singkatan” akan tetapi diperlakukan sebagai kata
atau leksikal. Misalnya kata pilkada yang berasal dari pemilihan
kepala daerah. Berikut adalah auran-aturan dalam pembentukan akronim ;
Ø Penyerapan
Menurut
Chaer (2008: 239) “Penyerapan adalah proses pengambilan kosakata dari bahasa
asing, baik bahsa asing eropa (seperti bahasa Belanda, Inggris, portugis, dan
sebagainnya), maupun bahsa asing Asia (seperti bahasa Arab, Pris, Sansekerta,
Cina, dan sebagainnya).”
Di
dalam sejarahnya penyerapan kosakata asing berlangsung secara audial, artinya
melalui penengaran: orang asing mengucapkan kosakata asing ini, lalu orang
Indonesia menirukannya, sesuai dengan yang didengarnya. Karena system fonologi
bahasa asing itu berbeda dengn system fonologi bahasa yang dimiliki orang
Indonesia, maka bunyi ujaran bahasa asing itu ditiru menurut kemampuan lidah
melafalnya. Seperti bahasa Sansekerta utpatti dilafalkan upeti. Penyerapan
kata-kata asing secara audial ini telah berlangsung lama dan telah menghasilkan
kata-kata yang banyak sekali jumlahnya dan sudah tidak diketahui lagi dari mana asalnya. misalnya, tidak tahu lagi
dari mana asalnya kata-kata surga, neraka, waktu, pahala, dan
sebagainya.
Sejak
terbitnya buku Pedoman Pembentukan Istilah dan buku Pedoman Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan, penyerapan kata-kata asing harus dilakukan secara
visual.
Artinya,
berdasarkan apa yang dilihat di dalam tulisan. Inti dari pedoman pembentukan
istilah itu adalah :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar